Sunday 6 October 2013

VOYEURISME DALAM KEHIDUPAN BERTETANGGA

Sebagai masyarakat Indonesia, budaya bertetangga sangat kental turun temurun ada di dalam lingkup kehidupan. Tetangga yang pertama tahu kejadian yang terjadi pada suatu keluarga yang tinggal dalam lingkarannya. Misalnya, seorang keluarga memiliki anggota keluarga yang baru, atau baru saja melahirkan. Maka tetangga juga yang menolong menyampaikan kabar baik tersebut ke seluruh warga.
Tetangga adalah orang terdekat selain keluarga. Peran tetangga sangat terasa ketika kita sedang tertimpa musibah. Bukanlah keluarga yang jauh yang membantu keluarga ketika sedang tertimpa musibah, melainkan tetangga yang datang untuk peduli dan menolong. Padahal secara garis genetik, mungkin tidak memiliki hubungan darah, namun karena rasa solidaritas tetangga saling membantu dan menganggap tetangga yang lain adalah saudaranya juga.
Namun demikian tidak semua kelompok masyarakat merasakan kehidupan bertetangga. Ada pula warga yang memilih menutup diri dari kehidupan bertetangga. Warga perumahan lah yang biasanya mengalami kehidupan bertetangga. Rumah yang berdempetan, jarak yang dekat dengan rumah depannya, sering mengadakan acara bersama, dll menjadi alasan mengapa orang membuka diri kepada tetangganya.
Dalam kehidupan bertetangga kita mengenal adanya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Diciptakannya Rukun Tetangga memang untuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang ada di dalam suatu wilayah agar kegiatan tersebut bersifat positif. Kegiatan tersebut bisa saja berupa arisan bapak-bapak, arisan ibu-ibu, malam ‘tirakatan tujubelasan’, halal bihalal, dan masih banyak kegiatan lainnya yang bisa dilakukan sesame tetangga.
Tidak setiap himpunan orang dapat disebut sebagai kelompok. Orang-orang yang terkumpul di suatu tempat seperti terminal bus, yang antri di depan loket, yang berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat—bukan kelompok. (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 141)
Supaya agregat menjadi kelompok diperlukan keadaran pada anggota-anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Jadi, dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda psikologis. Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok—ada sense of belonging— yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain. (Baron dan Byrne, 1979: 558)
Cara hidup bertetangga juga merupakan bagian dari komunikasi kelompok. Mereka juga membentuk Rukun Tetangga sebagai wadahnya. Antara satu sama lain anggotanya, merasa saling memiliki dan rasa persaudaraan.
Para ahli psikologi dan ahli sosiologi mengembangkan berbagai cara untuk mengklasifikasi kelompok. Kelompok dapat dijelaskan menjadi empat dikotomi: primer-sekunder, ingroup-outgroup­, rujukan-keanggotaan, deskriptif-preskriptif. Namun yang akan dibahas di sini adalah apa yang berkaitan dengan kehidupan bertetangga.
Kehidupan Bertetangga sebagai bentuk dari Kelompok Primer
Walaupun kita menjadi anggota banyak kelompok, kita terikat secara emosional pada beberapa kelompok saja. Hubungan kita dengan keluarga kita, kawan-kawan sepermainan, dan tetangga-tetangga yang dekat (di kampung kita, bukan di real estate), terasa lebih akrab, lebih personal, lebih menyentuh hati kita. Kelompok seperti ini disebut oleh Charles Horton Cooley (1909) sebagai kelompok primer:
“By primary group I mean those characterized by intimate face-to-face association and cooperation”, tulis Cooley dalam bukunya yang klasik Social Organization. (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 142)
Kehidupan bertetangga dianggap bentuk dari kelompok primer dilihat dari karakteristk komunikasinya. Pertama, kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Artinya, menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsure-unsur backstage (perilaku yang hanya kita tampakkan dalam suasana private saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi
Kedua, komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Dalam kelompok primer, yang penting buat kita ialah siapa dia, bukan apakah dia. Misal dalam kehidupan bertetangga, hubungan antara anggotanya tidak dapat dipindahkan. Ketika pindah ke lingkungan tetangga lain, belum tentu memiliki rasa persaudaraan yang sama. Hal ini karena hubungan seseorang dengan anggota kelompok primer bersifat unik dan tidak dapat dipindahkan.
Ketiga, pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi. Komunikasi dilakukan unruk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi bukan merupakan hal yang sangat penting. Pada kehidupan bertetangga mereka sering berkumpul dengan tujuan yang tidak jelas, melainkan hanya untuk mendekatkan diri satu sama lain. Misalnya pada acara malam tujuhbelasan (menjelang hari kemerdekaan), mereka mengadakan acara yang isinya hanya kumpul-kumpul, menyanyi, dan saling mendekatkan diri satu sama lainnya.
Keempat dan kelima, ekspresif dan informal. Kegiatan tadi dilakukan dalam suatu acara yang informal atau semi formal. Karena acara tersebut tujuan utamanya adalah mendekatkan diri satu sama lain. Tidak seperti di Istana Negara dalam memperingati kemerdekaan, dengan upacara dan baris berbaris.
Kehidupan bertetangga adalah salah satu contoh dari Komunikasi Kelompok Kecil
Masyarakat yang mendiami suatu daerah memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi. Dimulai dengan komuniksi interpersonal kemudian memasuki fase komunikasi kelompok. Melalui hubungan interpersonal yang baik, lalu timbul rasa saling memiliki. Kehidupan bertetangga dapat menjadi salah satu contoh dari komunikasi kelompok kecil.
Menurut Shaw (1976) ada enam cara untuk mengidentifikasi suatu kelompok. Berdasarkan hal itu kita dapat mengatakan bahwa komunikasi kelompok kecil adalah suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu dari komponen ini hilang individu yang terlibat tidaklah berkomunikasi dalam kelompok kecil. (Arni Muhammad, 2005: 182)
Voyeurisme dalam kehidupan bertetangga
Kehidupan bertetangga yang harusnya berdampak positif, ternyata juga memiliki dampak negatif. Hidup bertetangga yang sudah seperti keluarga seperti itu justru memiliki dampak buruk jika berlebihan. Ditambah dengan kultur sosial di Negara ini, yaitu budaya mengintip kehidupan orang lain juga membicarakan urusan orang lain atau dalam bahasa jawa disebut dengan ngrasani.
Tradisi rasanan (ngrasani) adalah perbincangan dalam masyarakat yang dilakukan  dengan cara bisik-bisik karena biasanya tema yang dibicarakan menyangkut tabu dan aib seseorang. (Hedi Pudjo Santosa,     : 65)
Dalam Ilmu Komunikasi, ini disebut dengan voyeurisme. Voyeurisme adalah keingintahuan yang telah melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip, pada lingkup personal maupun sosial. (Pappilon H. Manurung, 2007: 36)
Voyeurisme disini, juga menjadi masalah dalam kehidupan bertetangga. Kebiasaan ingin tahu urusan orang lain juga terjadi di dalam lingkungan bertetangga. Gossip tidak melulu apa yang ada di televisi, gossip juga menjadi salah satu topic favorit perbincangan dalam kelompok.
 Masalah rahasia dalam suatu keluarga bahkan bisa menyebar dengan cepat menjadi desas-desus di kalangan tetangga. Misalnya, si anak ibu X yang ditinggal suaminya, akan menjadi topik hangat perbincangan ibu-ibu. Padahal sebelumnya mungkin tidak ada satupun dari keluarga yang bersangkutan menceritakan hal tersebut pada tetangga. Mungkin ada salah satu tetangga yang mengamati gerak-gerik keluarga tersebut, mengapa suami anak ibu X tidak pernah ada di rumah lalu bercerita pada tetangga lain. Kemudian tetangga yang diceritakan tadi menceritakan pula ke tetangga lainnya. Hasilnya, desas-desus tersebut menyebar dan memaksa pihak keluarga yang bersangkutan mau tidak mau menceritakan apa yang terjadi pada tetangga.
Hal itu justru menghilangkan sifat kekeluargaan yang telah terbangun. Orang akan menjadi tidak nyaman ketika kehidupan pribadinya diusik hanya untuk pemuas rasa ingin tahu berlebih orang lain yang tidak penting. Apa pentingnya tahu apakah anak si X ditinggal suaminya atau misal ibu X menunggak arisan, dll tanpa klarifikasi lebih dahulu. Bahkan jika sudah tahu kebenarannya, tidak dibenarkan juga untuk menyebarluaskan aib seseorang atau keluarga kepada khalayak ramai.

Keingintahuan yang berlebihan, yang terkadang menjadi semacam voyeurisme itu, menjebak masyarakat itu sendiri masuk ke dalam jerat informasi yang membodohkan atau menyesatkan. (Haryatmoko, 27: 12)

DAFTAR PUSTAKA
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
Santosa, Hedi Pudjo.      . Menelisik Lika-Liku Infotainment di Media Televisi. Yogyakarta: GAPAI ASA MEDIA PRIMA.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organiasi. Jakarta: BUMI AKSARA.
Manurung, Papillon H. 2007. Komunikasi dan Kekuasaan. Yogyakarta: Forum Studi Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.