Sebagai
masyarakat Indonesia, budaya bertetangga sangat kental turun temurun ada di
dalam lingkup kehidupan. Tetangga yang pertama tahu kejadian yang terjadi pada
suatu keluarga yang tinggal dalam lingkarannya. Misalnya, seorang keluarga
memiliki anggota keluarga yang baru, atau baru saja melahirkan. Maka tetangga
juga yang menolong menyampaikan kabar baik tersebut ke seluruh warga.
Tetangga
adalah orang terdekat selain keluarga. Peran tetangga sangat terasa ketika kita
sedang tertimpa musibah. Bukanlah keluarga yang jauh yang membantu keluarga
ketika sedang tertimpa musibah, melainkan tetangga yang datang untuk peduli dan
menolong. Padahal secara garis genetik, mungkin tidak memiliki hubungan darah,
namun karena rasa solidaritas tetangga saling membantu dan menganggap tetangga
yang lain adalah saudaranya juga.
Namun
demikian tidak semua kelompok masyarakat merasakan kehidupan bertetangga. Ada
pula warga yang memilih menutup diri dari kehidupan bertetangga. Warga
perumahan lah yang biasanya mengalami kehidupan bertetangga. Rumah yang
berdempetan, jarak yang dekat dengan rumah depannya, sering mengadakan acara
bersama, dll menjadi alasan mengapa orang membuka diri kepada tetangganya.
Dalam
kehidupan bertetangga kita mengenal adanya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW). Diciptakannya Rukun Tetangga memang untuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan
yang ada di dalam suatu wilayah agar kegiatan tersebut bersifat positif.
Kegiatan tersebut bisa saja berupa arisan bapak-bapak, arisan ibu-ibu, malam
‘tirakatan tujubelasan’, halal bihalal, dan masih banyak kegiatan lainnya yang
bisa dilakukan sesame tetangga.
Tidak
setiap himpunan orang dapat disebut sebagai kelompok. Orang-orang yang
terkumpul di suatu tempat seperti terminal bus, yang antri di depan loket, yang
berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat—bukan
kelompok. (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 141)
Supaya
agregat menjadi kelompok diperlukan keadaran pada anggota-anggotanya akan
ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan
organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara
anggota-anggotanya. Jadi, dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda
psikologis. Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok—ada
sense of belonging— yang tidak
dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling
bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil
yang lain. (Baron dan Byrne, 1979: 558)
Cara
hidup bertetangga juga merupakan bagian dari komunikasi kelompok. Mereka juga
membentuk Rukun Tetangga sebagai wadahnya. Antara satu sama lain anggotanya,
merasa saling memiliki dan rasa persaudaraan.
Para
ahli psikologi dan ahli sosiologi mengembangkan berbagai cara untuk
mengklasifikasi kelompok. Kelompok dapat dijelaskan menjadi empat dikotomi:
primer-sekunder, ingroup-outgroup,
rujukan-keanggotaan, deskriptif-preskriptif. Namun yang akan dibahas di sini
adalah apa yang berkaitan dengan kehidupan bertetangga.
Kehidupan Bertetangga sebagai
bentuk dari Kelompok Primer
Walaupun
kita menjadi anggota banyak kelompok, kita terikat secara emosional pada
beberapa kelompok saja. Hubungan kita dengan keluarga kita, kawan-kawan
sepermainan, dan tetangga-tetangga yang dekat (di kampung kita, bukan di real estate), terasa lebih akrab, lebih
personal, lebih menyentuh hati kita. Kelompok seperti ini disebut oleh Charles
Horton Cooley (1909) sebagai kelompok primer:
“By
primary group I mean those characterized by intimate face-to-face association
and cooperation”,
tulis
Cooley dalam bukunya yang klasik Social Organization. (Jalaluddin
Rakhmat, 2007: 142)
Kehidupan
bertetangga dianggap bentuk dari kelompok primer dilihat dari karakteristk
komunikasinya. Pertama, kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam
dan meluas. Artinya, menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi,
menyingkap unsure-unsur backstage
(perilaku yang hanya kita tampakkan dalam suasana private saja). Meluas,
artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi
Kedua,
komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Dalam kelompok primer, yang
penting buat kita ialah siapa dia, bukan apakah dia. Misal dalam kehidupan
bertetangga, hubungan antara anggotanya tidak dapat dipindahkan. Ketika pindah
ke lingkungan tetangga lain, belum tentu memiliki rasa persaudaraan yang sama.
Hal ini karena hubungan seseorang dengan anggota kelompok primer bersifat unik
dan tidak dapat dipindahkan.
Ketiga,
pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek
isi. Komunikasi dilakukan unruk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi
bukan merupakan hal yang sangat penting. Pada kehidupan bertetangga mereka
sering berkumpul dengan tujuan yang tidak jelas, melainkan hanya untuk
mendekatkan diri satu sama lain. Misalnya pada acara malam tujuhbelasan
(menjelang hari kemerdekaan), mereka mengadakan acara yang isinya hanya
kumpul-kumpul, menyanyi, dan saling mendekatkan diri satu sama lainnya.
Keempat
dan kelima, ekspresif dan informal. Kegiatan tadi dilakukan dalam suatu acara
yang informal atau semi formal. Karena acara tersebut tujuan utamanya adalah
mendekatkan diri satu sama lain. Tidak seperti di Istana Negara dalam
memperingati kemerdekaan, dengan upacara dan baris berbaris.
Kehidupan bertetangga adalah salah
satu contoh dari Komunikasi Kelompok Kecil
Masyarakat
yang mendiami suatu daerah memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi. Dimulai
dengan komuniksi interpersonal kemudian memasuki fase komunikasi kelompok. Melalui
hubungan interpersonal yang baik, lalu timbul rasa saling memiliki. Kehidupan
bertetangga dapat menjadi salah satu contoh dari komunikasi kelompok kecil.
Menurut
Shaw (1976) ada enam cara untuk mengidentifikasi suatu kelompok. Berdasarkan
hal itu kita dapat mengatakan bahwa komunikasi kelompok kecil adalah suatu
kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa
kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan,
terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu dari
komponen ini hilang individu yang terlibat tidaklah berkomunikasi dalam
kelompok kecil. (Arni Muhammad, 2005: 182)
Voyeurisme dalam kehidupan
bertetangga
Kehidupan
bertetangga yang harusnya berdampak positif, ternyata juga memiliki dampak
negatif. Hidup bertetangga yang sudah seperti keluarga seperti itu justru
memiliki dampak buruk jika berlebihan. Ditambah dengan kultur sosial di Negara
ini, yaitu budaya mengintip kehidupan orang lain juga membicarakan urusan orang
lain atau dalam bahasa jawa disebut dengan ngrasani.
Tradisi
rasanan (ngrasani) adalah
perbincangan dalam masyarakat yang dilakukan dengan cara bisik-bisik karena biasanya tema
yang dibicarakan menyangkut tabu dan aib seseorang. (Hedi Pudjo Santosa, : 65)
Dalam
Ilmu Komunikasi, ini disebut dengan voyeurisme. Voyeurisme adalah keingintahuan
yang telah melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip, pada lingkup personal
maupun sosial. (Pappilon H. Manurung, 2007: 36)
Voyeurisme
disini, juga menjadi masalah dalam kehidupan bertetangga. Kebiasaan ingin tahu
urusan orang lain juga terjadi di dalam lingkungan bertetangga. Gossip tidak
melulu apa yang ada di televisi, gossip juga menjadi salah satu topic favorit
perbincangan dalam kelompok.
Masalah rahasia dalam suatu keluarga bahkan
bisa menyebar dengan cepat menjadi desas-desus di kalangan tetangga. Misalnya,
si anak ibu X yang ditinggal suaminya, akan menjadi topik hangat perbincangan
ibu-ibu. Padahal sebelumnya mungkin tidak ada satupun dari keluarga yang
bersangkutan menceritakan hal tersebut pada tetangga. Mungkin ada salah satu
tetangga yang mengamati gerak-gerik keluarga tersebut, mengapa suami anak ibu X
tidak pernah ada di rumah lalu bercerita pada tetangga lain. Kemudian tetangga
yang diceritakan tadi menceritakan pula ke tetangga lainnya. Hasilnya,
desas-desus tersebut menyebar dan memaksa pihak keluarga yang bersangkutan mau
tidak mau menceritakan apa yang terjadi pada tetangga.
Hal
itu justru menghilangkan sifat kekeluargaan yang telah terbangun. Orang akan
menjadi tidak nyaman ketika kehidupan pribadinya diusik hanya untuk pemuas rasa
ingin tahu berlebih orang lain yang tidak penting. Apa pentingnya tahu apakah
anak si X ditinggal suaminya atau misal ibu X menunggak arisan, dll tanpa
klarifikasi lebih dahulu. Bahkan jika sudah tahu kebenarannya, tidak dibenarkan
juga untuk menyebarluaskan aib seseorang atau keluarga kepada khalayak ramai.
Keingintahuan
yang berlebihan, yang terkadang menjadi semacam voyeurisme itu, menjebak masyarakat itu sendiri masuk ke dalam
jerat informasi yang membodohkan atau menyesatkan. (Haryatmoko, 27: 12)
DAFTAR PUSTAKA
Haryatmoko.
2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
Santosa, Hedi Pudjo. .
Menelisik Lika-Liku Infotainment di Media Televisi. Yogyakarta: GAPAI ASA MEDIA
PRIMA.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organiasi. Jakarta:
BUMI AKSARA.
Manurung, Papillon H. 2007. Komunikasi dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Forum Studi Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.